Rumah

“Hey!” panggilnya dari kejauhan. Bukannya aku tak mendengarnya, tapi kurasa sudah tak ada artinya lagi bagiku bila kita tetap bersama. Untuk apa? Mempertahankan sebuah hubungan yang sudah sama-sama saling menyiksa satu sama lain. Untuk apa? Mempertahankan genggaman pada tali yang tak lagi bisa mengikat satu sama lain. Untuk apa? Aku terus berjalan meninggalkannya, sampai sebuah genggaman erat meraih tanganku. Aku menoleh, melihat tatapan matanya yang seolah mengintimidasi. Aku tahu aku masih menyukainya tapi..
“Ayo pulang.” Ucapnya lirih. Aku terdiam. Pulang? Kemana? Aku masih menatap lekat matanya. Menatap matanya yang kelam, yang seolah bisa menenggelamkanku. Aku tak begitu mengerti, tapi aku tetap menatapnya. Selama beberapa menit. Menatapnya dalam diam. 

“Ayo pulang.” Ucapnya sekali lagi. Aku tetap tak bergeming. Hentikan, biarkan aku pergi. Aku punya jalanku sendiri begitu juga kau. Jangan memaksaku seolah aku adalah milikmu. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku berhak menentukan kemana kakiku akan melangkah. 

“Ayo pulang.” Untuk ketiga kalinya dia mengulanginya. Itu membuatku sedikit kesal. Bukankah seharusnya kau bisa membaca jawabannya dari ekspresi yang kutunjukkan? Ah, iya, tentu tidak bisa. Kau kan bukan peramal.

“Pulang kemana?” tanyaku setelah beberapa detik kita bertatapan dan saling membisu. Aku tak mengerti mengapa dia mengajakku pulang. Apa kita punya rumah untuk kembali? Apa akan ada seseorang yang menyambut kehadiran kita? Apa akan ada orang yang mengkhawatirkan kepergian kita?

“Rumah.” Aku mengernyitkan keningku. Bingung. Rumah? Siapa? 

“Ayo pulang kerumah. Kita punya rumah.” Lanjutnya seolah-olah sekarang dia bisa membaca pikiranku melalui ekspresi yang kutunjukkan. Aku tetap tidak beranjak. Otakku berfikir keras. Apakah aku masih pantas menyebutnya rumah? Aku tahu kau begitu baik padaku, tapi untuk apa aku mempertahankan tali yang kau berikan? Aku merasa hatiku tak memiliki kecocokan denganmu, dengan rumah dan orang-orang didalamnya. Jujur, aku memang masih menyukaimu, menyukai rumah dan orang-orang didalamnya. Tapi, aku merasa... berbeda. Ya, aku berbeda. Aku merasa aku tak bisa menyatu dengan rumah. Untuk apa lagi aku pulang dan kembali ke rumah? Rumah kalian begitu nyaman, begitu hangat dan damai. Sedangkan aku? Aku tak cocok tinggal didalamnya. Ketika aku memikirkan kembali apa yang telah aku lakukan pada kalian, pada rumah dan terutama kepadamu, aku merasa aku tak akan pernah sanggup untuk memaafkan diriku sendiri. Aku tertunduk, entah karena aku bingung tak bisa menimpali jawabannya atau kesal pada diriku sendiri. Dia semakin menggenggam erat tanganku. Meraih tanganku yang satunya lagi, dan menyatukannya. 

“Yakinlah.” Ucapnya tiba-tiba. “Kau tidak sendiri.” Lanjutnya. Aku mengangkat kepalaku, menatapnya tajam.

“Tidak sendiri? Kau tidak perlu menghiburku. Kau sama sekali tidak tahu apa yang telah aku lakukan. Kau tidak tahu apapun tentangku jadi berhentilah menahanku. Aku senang, kita pernah dipertemukan, aku senang pernah menemukan rumah tapi rumah bukanlah tempatku. Aku tidak cocok berada disana.” Seketika air mataku tumpah. Aku meluapkan segala kekesalanku dan terus menangis terisak dihadapannya. Aku marah, aku kesal, aku sedih. Bukan kepadanya namun kepada diriku sendiri. Aku tak mampu mengontrol emosiku. Kemudian kurasakan tangannya kini tak lagi menggenggam erat tanganku melainkan berpindah mendekap tubuhku. Mendekapnya begitu erat, berusaha untuk menenangkanku. Aku semakin menangis meluapkan apa yang selama ini aku pendam. 

“Sudah kubilang, kau tidak sendiri.” Katanya sambil mengusap punggungku. 

“Rumah adalah tempatmu kembali. Tidak peduli seberapa berbedanya kau, rumah tak akan pernah mengasingkanmu. Pada dasarnya, kita semua berbeda, tidak ada yang sama. Kita berbeda maka dari itu kita dikumpulkan dalam sebuah rumah. Kita tidak harus menjadi sama untuk dapat membangun rumah. Kita bisa membangun rumah dengan perbedaan yang kita miliki sehingga rumah kita kelak akan lebih berwarna. Tak perlu khawatir kau telah melakukan kesalahan karena pada dasarnya kita memang makhluk yang tidak sempurna yang selalu akan melakukan kesalahan di masa yang akan datang. Itu hal yang wajar.” Jelasnya panjang lebar. Kemudian dia melepaskan pelukannya dariku dan kembali menatapku. Tangannya mengusap air mata yang mengalir dipipiku. Aku masih setengah terisak, berusaha mencerna penjelasan yang baru saja dia katakan. 

”Apa kau yakin aku masih diterima?” tanyaku.

“Kenapa tidak?” Tanyanya balik. Dia kembali menggenggam tanganku, menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak ingin aku meninggalkannya.

“Kau masih menyukai rumah kan?” aku mengangguk. Aku mungkin memang merasa tidak cocok berada disana, tapi aku menyukainya. Aku mengakui, aku masih sangat menyukainya. 

“Kalau begitu ayo pulang.” Ajaknya lagi.

“Aku tetap tidak bisa.” Jawabku. Dia memiringkan kepalanya mengisyaratkan kebingungan yang tidak dia dapatkan jawabannya. 

“Aku telah banyak menyakiti orang-orang didalam rumah. Selama ini kalian selalu menolongku tapi aku malah meninggalkan kalian. Selama ini kalian selalu berusaha mengulurkan tangan kalian tapi aku malah mengacuhkannya. Apa hal yang seperti itu masih bisa dimaafkan?” Lanjutku.

“Sebanyak apapun kesalahan yang kau lakukan, kami akan tetap memaafkanmu. Itulah keluarga. Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian, tidak akan pernah. Jadi kembalilah, karena bila kau pergi akan menimbulkan luka yang menganga yang tak akan bisa disembuhkan.” Aku terdiam mendengar jawabannya. Mungkin dia benar. Mungkin. Kemudian aku menengok kebelakang. Kearah orang-orang yang dia sebut keluarga. Mereka begitu bahagia, melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Aku mengalihkan kembali pandanganku ke arahnya. Dia menatapku dengan senyuman terukir diwajahnya. Aku melepaskan genggaman tangannya, membuatnya kembali menatapku bingung.

“Satu hal lagi.” Ucapku. “Jika aku tetap tidak mau pulang?” Dia menghembuskan nafasnya pelan. Lalu menatapku lekat-lekat.

“Aku telah berusaha menggenggammu, namun semua keputusan tetap berada di tanganmu. Aku tak akan pernah memaksakan apapun yang akan menjadi kebahagiaanmu. Tapi jika suatu saat kau butuh kami, pintu rumah akan selalu terbuka menyambut kehadiranmu. Ingatlah bahwa kemanapun langkah kakimu membawamu pergi, kau tetap bagian dari keluarga.” Jelasnya. Senyumnya tetap terukir lembut diwajahnya. Kemudian dia berbalik, beranjak menuju rumah. Aku pun segera berlari meraih tangannya. Menghentikan langkahnya dan membuatnya menoleh bingung kearahku. Kini aku yang menggenggam tangannya. Meyakinkan diri sendiri bahwa dia benar, dan kurasa dia memang benar. Aku masih bagian dari keluarga.

“Ayo kita pulang.”

No comments:

Post a Comment

Populer