Seorang gadis yang berada dalam ambang keputusasaan. Begitu mengejar kehidupan duniawi, hingga lupa pada jati diri. Orang-orang dengan tanpa sungkan mencemoohnya, menjadikannya bahan pembicaraan hangat di setiap waktu. Setidaknya, begitulah yang dipikirkannya. Walau pada kenyataan, tidak samua orang mencemooh dirinya. Mereka peduli, sebagai sesama warga di lingkungan pedesaan yang berada jauh dari sudut kota, tenggang rasa menjadi persoalan utama. Permasalahan yang terjadi, baik milik individu sekalipun, akan menjadi persoalan utama milik bersama.
Pertengahan tahun 2000, Mina mulai beranjak semakin dewasa. Semakin pelik persoalan yang dia hadapi. Mina, yang hanya tinggal berdua bersama ibunya, ditinggal ayah lebih dulu menemui Tuhan. Menjadikan dia seorang gadis yang harus mengemban tanggung jawab keluarga, mengurus ibunya yang mulai renta, dan membiayai diri agar dapat bertahan hidup. Mina, yang terpaksa harus memutus pendidikan, yang terpaksa harus bekerja keras disana-sini, yang kemudian mulai merasa lelah karena bukannya kesejahteraan yang dia peroleh dari hasilnya bekerja, namun semakin sengsaranya dia. Setidaknya begitulah yang dipikirkannya. Dia, Mina, akhirnya tidak peduli lagi. Pada kehidupannya. Pada lingkungan tempatnya tinggal. Pada ibunya. Dan pada Tuhannya. Dia mulai kehilangan Tuhannya. Kehilangan kepercayaan dan keyakinan yang selama ini dia pegang teguh atas ajaran-ajaran yang di dapatkan selama puluhan tahun.
Sang ibu mulai khawatir, melihat perkembangan Mina yang semakin hari semakin mengerikan. Dia semakin kehilangan arah, dan mulai berhalusinasi. Beberapa kali menangkap basah Mina tengah berbicara sendiri. Menangis, meratap, dan berteriak seolah dia tengah mengalami pertengkaran yang hebat. Kondisi sang ibu pun kian memburuk. Tatkala usianya yang semakin renta, semakin lemah melawan penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya. Mina tak lagi peduli. Tapi itu bukan masalah utama bagi sang ibu. Keselamatan anaknya lah yang lebih penting. Dia sedang dalam masa transisi. Hal yang sangat wajar bila saat ini dia membutuhkan dorongan semangat. Membutuhkan seseorang yang dapat mengarahkannya kembali. Setidaknya, begitulah yang dipikirkan sang ibu.
"Mina, Mina apa yang terjadi padamu nak? Mengapa akhir-akhir ini kau menjauh dari Tuhanmu? Mina hentikan semua ini. Jangan lagi kau berbuat seperti ini nak." Sang ibu mencoba memperingatkan, melakukan pendekatan dan berusaha membawa kesadaran Mina kembali.
"Ah! Pergi kau! Pergi dari tempat ini! Siapa kamu?"
"Aku ini ibumu nak."
"Ah, aku tak punya ibu. Pergi kau!" Mina dengan tegas mengusir ibunya yang menangis pilu. Bahkan, ia sedikit pun enggan memandang wajah ibunya. Dia telah melupakan segalanya. Peliknya kehidupan, membawanya semakin dalam menuju kesengsaraan. Dia terjerat ilusi yang semakin kuat mengikat. Dia menghadirkan sosok wanita, yang dengan mudah menjanjikan surga. Menggoda sedemikian rupa agar Mina semakit tersesat. Juga sosok Nyonya, majikannya yang agung, yang menjanjikan sebuah cermin tipu daya yang dapat membawanya menuju kebahagiaan. Dia, Mina, seorang gadis yang tengah berada diujung tanduk. Dilema oleh kedua hal yang tak pasti, yang bahkan tak mungkin dia dapatkan. Mina menjadi semakin hilang kendali. Semakin jatuh dalam keputusasaan. Surga, dan cermin tipu daya, gagal dia gapai.
Salma, salah satu orang yang peduli terhadap keluarga Mina, terhadap Mina, dan ibunya. Salma pun prihatin atas apa yang menimpa Mina. Dia datang menenangkan Mina. Menyadarkannya, mengingatkannya kembali akan sosok Tuhan dalam hatinya. Mencoba membawa Mina menuju kesadarannya. Namun Mina memandang Salma hanya sebagai salah satu dari orang-orang itu. Salah satu dari mereka yang akan dengan senang semakin membuatnya terpuruk. Sudah, cukup. Mina mulai berada pada ambang batasnya. Dia semakin kehilangan arah. Dalam hatinya hanya ada duniawi, tanpa sosok Tuhan. Mengemis semakin menjadi pada sosok yang dia ciptakan dalam khayalannya. Pada sosok yang dia yakini akan memberikannya kejayaan. Pada sosok yang nyatanya tidak ada.
Mina kini telah jatuh. Dia telah buta. Dia telah hilang.
Karakter pertama : "Mina" dalam naskah "Tuhan yang Hilang" (mengalami perubahan nama tokoh) karya Saylendra Susanto.
No comments:
Post a Comment