Seorang Gadis, Pelanggan Setia Kedai Kopi

Dikala malam tiba, ribuan orang berlalu-lalang pada sebuah sudut kota. Mencari penghidupan, atau sekedar mencari kehidupan. Baik pejalan kaki, pengendara motor, pemilik mobil, maupun penumpang angkutan umum memadati jalanan yang terbilang cukup besar. Sembari larut dengan rutinitas masing-masing yang seolah merestorasi pada kejadian sebelum-sebelumnya. Nampak kontras dengan suasana malam yang semakin syahdu. Berusaha menyambut mesra para penikmatnya. Bintang-bintang dengan malu-malu memancarkan sinarnya dibalik awan mendung, bersama bulan yang dengan angkuh hanya menampakkan keindahan melalui sabitnya. Serta semilir hembusan angin malam yang membawa aroma khas tanah pasca diguyur hujan. Tidakkah kau ingin menikmati keromantisan di malam panjang ini? Dengan menghabiskan waktu bersamaku, misalnya? Oh, aku tahu. Tentu jawabannya tidak. Untuk itu aku memilih menemani sahabat karibku menyusuri trotoar jalanan ramai di kota ini.

Jika aku tidak salah, kami telah menyusuri kota lebih dari setengah jam. Memutari setiap sudutnya, berkunjung dari satu tempat ke tempat lain, hingga berakhir pada sebuah toko butik. Oh, maksudku, tempat yang berada tepat di depannya. Sebuah kedai kopi mini, milik seorang perempuan muda yang juga dia sendirilah sebagai pelayannya. Entahlah. Hanya anggapanku saja, beberapa orang memilih menikmati untuk terjun langsung demi menghilangkan rasa bosannya mungkin? Atau bahkan perasaan kesepiannya? Kedai kopi mini ini telah menjadi langganan kami. Bukan karena kami gemar minum kopi. Bukan pula karena kami adalah golongan sosialita yang suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercengkrama membahas ini-itu yang sama sekali tidak berkaitan satu dengan yang lain. Tapi ada sebuah alasan khusus. Alasan yang membuat sahabatku ini berkali-kali memaksaku dengan berbagai cara untuk menemaninya menuju kedai itu. Alasan klasik seorang gadis yang sedang jatuh hati.

Aku hanya menurut. Sesekali menyenangkan hatinya. Yah, walau sebenarnya hampir setiap minggu dia memaksaku. Mau bagaimana lagi? Seseorang yang membuatnya jatuh hati itu, memang sangat sering mengunjungi kedai kopi ini. Hanya untuk sekedar menjadi parasit wi-fi. Dasar maniak game. Sahabatku mengamati lekat-lekat keadaan didalam kedai kopi melalui jendela kaca. mencari sosok yang selama ini dia tunggu kehadirannya di kedai itu. Sedang aku, lebih tertarik untuk memperhatikan berbagai tipikal pelanggan kedai.

"Aneh, biasanya jam segini dia sudah datang.." Gumam sahabatku tanpa memalingkan pengamatannya. Aku tetap asyik dengan kegiatanku, mengabaikannya yang sepertinya dia pun tidak masalah dengan itu. Beberapa orang terlihat keluar-masuk, berkegiatan dengan berbagai ekspresi dan gestur. Namun tidak dengan seorang pria yang hanya duduk diam mengamati dari pojok kedai. Dengan wajah datar tanpa bisa ditebak. Kukira mungkin dia sedang menunggu seseorang? Entahlah. Kualihkan pandanganku kepada sosok lain. Seorang gadis yang datang ke kedai dengan penampilan yang awut-awutan. Bajunya kusut, rambutnya berantakan, matanya berkantung tebal. Menggendong sebuah tas besar di bahunya dengan setumpuk buku dan kertas di pelukannya. Dia masuk dengan wajah suram, duduk di kursi dekat pintu lalu berkutat dengan tumpukan buku dan kertas yang tadi dipeluknya. Dia nampak sibuk. Namun juga kesal. Beberapa kali dia memperlakukan pekerjaannya dengan kasar. Sembari sesekali kulihat bibirnya bergerak yang kujamin dia tengah ngedumel atau bahkan mengumpat. Sungguh kasihan. Ingin rasanya aku masuk dan memberinya saran untuk mencari  seorang kekasih guna membantu pekerjaannya. Sang pelayan menghampirinya. Meinggalkannya kemudian kembali lagi dengan secangkir minuman yang dipesan si gadis. Beberapa menit setelahnya, dia menghabiskan minumannya, membereskan semua kekacauan yang telah dilakukannya di meja, lalu bergegas pergi meninggalkan kedai. Sungguh dia adalah seorang gadis yang aneh.

Pelanggan selanjutnya yang tertangkap pengamatanku ialah dua orang gadis dengan penampilan yang nyentrik. Sibuk berkutat dengan gadget masing-masing padahal mereka berdua berada dalam satu meja dan saling berhadapan. Memang sudah merupakan hal yang lazim terjadi. Beberapa menit setelahnya, salah satu dari mereka memanggil si pelayan. Kemudian menyerahkan HP-nya kepada si pelayan yang dapat kutebak dengan pasti, mereka meminta si pelayan untuk mengambil gambar mereka berdua menggunakan HP tersebut. Dan benar saja. Namun sepertinya mereka terlihat tidak puas dengan hasil jepretan si pelayan dan pergi meninggalkan kedai tanpa memesan apapun. Dasar pelanggan tidak tahu diri.

Perhatianku teralihkan sesaat setelah tanganku ditarik secara tiba-tiba oleh sahabatku, masuk kedalam kedai yang ternyata disana telah ada seseorang yang selama ini menarik perhatiannya. Kami duduk di kursi tidak jauh dari lelaki tersebut. Beberapa kali dia mencuri pandang, memujinya, bahkan melakukan hal yang mencoba menarik perhatian si lelaki namun tetap tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Dia akhirnya memulai kembali rutinitasnya yang sangat kuhafal. Bercerita mengenai peristiwa pertemuan pertamanya. Aku bahkan sangat jelas mengingat dengan runtut isi cerita yang akan disampaikannya padaku. Ini gila. Dia telah jatuh terlalu dalam pada perasaannya hingga membuat akal sehatnya menghilang secara perlahan. Tentu saja, aku enggan untuk terjebak lagi dalam curahan hati panjangnya itu. Aku harus segera mempertemukan mereka. Kucoba untuk membuatnya mendekati si lelaki, bersikap lebih berani namun dia tetap enggan dengan alasan dia begitu malu dengan penampilannya. Baiklah, jika sudah begini, maka ini saatnya aku saja yang bertindak.

Aku mendekati meja si lelaki yang digilai oleh sahabatku. Mencoba berbasa-basi dengannya agar dapat duduk disana. Setelah mendapat lampu hijau, kumulai aksiku dengan menceritakan mengenai sahabatku. Beberapa kali mencoba mengalihkan perhatiannya dari game bodohnya itu. Bercerita panjang lebar dengan penuh kesabaran karena hanya mendapat tanggapan "hmm", "oh" dan "ya". Apakah sebegitu tidak tertarik dia pada perempuan? Kukira dia akan menikahi laptopnya suatu saat nanti. Sungguh, lelaki ini mencoba bermain api dengan kesabaranku. Dengan kesal aku memakinya dan tanpa sengaja menumpahkan gelas minumannya hingga membasahi laptop. Tentu saja hal ini membuat si lelaki geram oleh ulahku karena laptop kesayangannya mendadak tidak dapat dinyalakan. Aku yang bingung harus bagaimana malah akhirnya tidak berkutik. Di tengah ketidakberdayaanku oleh cacian dan tuntutannya, sahabatku datang menghampiri kami, menjadi penengah sekaligus penyelamat bagi kita berdua. Penyelamatku dari tuntutan si lelaki maniak, dan penyelamat si lelaki karena ternyata sahabatku memiliki kenalan seorang tukang servis laptop. Sebagai sahabatnya, jujur aku merasa kesal karena aku baru mengetahuinya sekarang. Mereka berdua lalu akhirnya menjadi akrab. Saling berkenalan, dan bersikap layaknya remaja yang tengah dimabuk asmara pada pandangan pertama. Sungguh mengesalkan karena aku tidak ada didalam lingkaran mereka padahal keberadaanku masih disana. Mereka akhirnya sepakat untuk pergi menemui tukang servis laptop yang dimaksud. Melupakanku dan bersikap seolah aku tidak ada. Sahabat macam apa dia. Dengan sedikit kesal aku berencana menyusul mereka yang telah beranjak terlebih dahulu dari kedai. Namun, aku mengurungkan niatanku setelah berpapasan dengan seorang wanita yang sangat anggun di pintu kedai. Dengan pasti, dia melangkah menuju meja dimana seorang lelaki yang sedari tadi hanya duduk diam mengamati. Tak kusangka, dia masih berada di sana rupanya. Wanita tersebut duduk dihadapan sang pria. Saling melempar pandang dengan si pria yang tetap diam.

"Kopi kita sudah habis." samar-samar kudengar sang wanita membuka percakapan.

"Apa maksudmu?" akhirnya si pria menanggapi, dengan ekspresi yang tetap tak dapat ditebak.

"Kopi kita.. Sudah habis."

"Kalau begitu kenapa tidak di isi lagi?"

"Apa rasanya akan tetap sama?"

Hujan turun setelahnya. Mengiringi langkahku meninggalkan kedai. Membasuh kembali kota dengan ribuan rintik air yang berjatuhan berirama lembut. Menambah suasana syahdu bagi orang-orang yang dilanda kerinduan, keraguan, atau kesedihan. Mengantar kepergian kami di persimpangan. Aku, dan wanita itu.
.
.
.
Karakter kedua : Seorang Gadis, pelanggan setia Kedai Kopi

No comments:

Post a Comment

Populer