Terkadang ucapan manusia itu tak dapat dipercaya. Bukan hanya karena mereka memang berniat melakukannya, tapi memang ucapan mereka tak bisa dipercaya. Menurutmu, bagaimana aku bisa berkata demikian? Biar kuberi kau sedikit gambaran. Kita tidak sedang berada dalam drama roman picisan. Dimana semua hal terasa indah. Bahkan adegan bertengkar dengan kekasih pun, itu masih jauh lebih indah. Tapi kenyataan tidak akan pernah sesuai dengan ekspektasi. Dalam hidup ini, ada banyak ranjau yang harus dilewati. Kau akan segera berakhir jika tak mampu bertahan. Mungkin begitulah perumpamaannya. Tidak ada kepastian hari esok aku akan tetap hidup, aku sih tidak masalah dengan hal itu. Namun, jika aku tak ada, siapa yang akan menyelamatkan pasukan? Walau aku hanya seorang paramedis, tapi kami lah target utama serangan mereka. Kau tak akan tahu sebesar apa rasa takut kami. Mengetahui bahwa setiap pagi bukan ayam berkokok yang akan membangunkanmu melainkan suara mesin kendaraan bertubuh baja dan meriam yang ditembakkan, bukan air yang menghujani atap rumahmu melainkan ratusan rudal yang dilepaskan secara brutal, bukan kekasih pujaan hati yang akan kau temui saat membuka pintu melainkan para tentara musuh lengkap dengan senjata mereka yang siap merenggut nyawamu kapan saja.
Entah sudah berapa lama aku hidup seperti ini seolah aku sudah mulai bisa beradaptasi. Seperti biasa, pagiku disambut oleh kehadirannya. Dengan penuh luka bakar dan luka sayatan dia menghampiriku. Aku tidak pernah mempermasalahkan seberapa parah atau seberapa banyak luka yang dia dapatkan, tapi mengapa dalam keadaan seperti itu dia masih bisa tersenyum?
“Bagaimana kabarmu pagi ini?” tanyanya saat aku sedang membersihkan luka pada lengannya. Memangnya bagaimana menurutmu? Tanyakan itu pada dirimu sendiri. Aku yang masih dalam keadaan kesal tak sengaja menekan lukanya yang membuatnya meringis kesakitan.
“Kau tahu? Perang ini akan segera berakhir. Aku percaya itu. Setelah ini, kau tak perlu lagi mengobati lukaku. Kau bisa melanjutkan pendidikanmu dibidang kesehatan sesuai dengan impianmu. Jangan khawatir kau tak bisa mewujudkannya sebab aku akan selalu berada disampingmu untuk melindungimu.” Cukup lama aku tertegun mendengar kata-katanya barusan. Dia tersenyum tulus padaku. Setelah beberapa detik kami saling memandang, aku beranjak dari tempat itu untuk mengobati tentara yang lain.
“Bodoh.”
Perlawanan sengit dari musuh memaksa kami untuk terus berpindah dari satu tempat ketempat lain setiap hari. Tentu saja semua itu tak semudah seperti yang direncanakan. Kami harus berpindah ke tempat yang tersembunyi yang berarti daya jangkaunya juga sangat susah. Walaupun begitu dia benar-benar berada disampingku dan membantuku di setiap perjalanan. Tak jarang dia mendapatkan luka baru saat menolongku dan aku harus mengobatinya lagi. Begitulah yang terjadi. kami bertemu di kehidupan yang penuh luka, dan saling terhubung oleh luka. Jika musuh tidak menunjukan tanda-tanda penyerangan, dia akan membuat lukanya sendiri untuk bertemu denganku. Itulah sebabnya aku menyebutnya bodoh. Dia memang bodoh, begitu juga aku yang mengharapkan dia akan datang setiap hari menunjukkan luka barunya padaku.
Malam mulai kelam. Dingin menyeruak masuk kedalam tubuh. Tak ada yang menyadari bahaya yang akan kami hadapi selanjutnya. Disaat semuanya telah terlelap, ledakan granat menjadi alarm yang membangunkan kami. Tak disangka mereka telah melacak pergerakan kami. Mungkin seharusnya aku sudah mati jika bukan karena dia menyelamatkanku. Aku hanya seorang paramedis, bukan jendral atau sersan yang memiliki peran penting dalam peperangan ini. Jumlah paramedis yang tersisa juga masih cukup untuk mengobati sebuah pasukan besar, tidak akan ada masalah jika hanya mati seorang, namun dia tetap melindungiku mati-matian. Saling serang, saling tembak dan melempar bom bukan sebuah hal yang aneh lagi untuk dilihat. Saat salah seorang dari mereka berusaha menyerangku, dia tetap melindungiku sampai akhir. Dia berdiri menjadi tameng, membiarkan jantungnya terkoyak oleh panasnya timah peluru. Ditengah peperangan malam yang masih berlanjut, dia tumbang.
“Mengapa?”
“Happy... Birthday...” Dengan susah payah dia mengatakannya. Memaksakan bibirnya untuk tetap tersenyum.
“Ini... adalah hari ulang tahunmu, kan? Ugh! Tak ada... yang bisa kuberikan... di tengah.. uhuk!” Dia terbatuk, mengeluarkan banyak darah sebagai tanda waktunya tak akan lama lagi.
“Aku.. tak bisa memberikan apapun di tengah peperangan seperti ini... karena itu, mungkin nyawaku... akan berguna untukmu..”
“Kau berbohong. Untuk selalu disampingku. Kau berbohong. Untuk membantuku mewujudkan impianku. Kau berbohong.” Itulah mengapa aku tak bisa mempercayai manusia. Aku tahu tak ada gunanya aku marah, napasnya sudah mulai berhenti sejak tadi. Dia pergi dengan tetap mengulum senyuman di bibirnya. Sampai akhir, dia tak pernah menunjukkan kesedihannya padaku. Takdir yang ironis. Kami dipertemukan melalui luka, saling terhubung oleh luka, dan dipisahkan oleh luka.
No comments:
Post a Comment