Seorang Gadis, Pelanggan Setia Kedai Kopi

Dikala malam tiba, ribuan orang berlalu-lalang pada sebuah sudut kota. Mencari penghidupan, atau sekedar mencari kehidupan. Baik pejalan kaki, pengendara motor, pemilik mobil, maupun penumpang angkutan umum memadati jalanan yang terbilang cukup besar. Sembari larut dengan rutinitas masing-masing yang seolah merestorasi pada kejadian sebelum-sebelumnya. Nampak kontras dengan suasana malam yang semakin syahdu. Berusaha menyambut mesra para penikmatnya. Bintang-bintang dengan malu-malu memancarkan sinarnya dibalik awan mendung, bersama bulan yang dengan angkuh hanya menampakkan keindahan melalui sabitnya. Serta semilir hembusan angin malam yang membawa aroma khas tanah pasca diguyur hujan. Tidakkah kau ingin menikmati keromantisan di malam panjang ini? Dengan menghabiskan waktu bersamaku, misalnya? Oh, aku tahu. Tentu jawabannya tidak. Untuk itu aku memilih menemani sahabat karibku menyusuri trotoar jalanan ramai di kota ini.

Mina

Seorang gadis yang berada dalam ambang keputusasaan. Begitu mengejar kehidupan duniawi, hingga lupa pada jati diri. Orang-orang dengan tanpa sungkan mencemoohnya, menjadikannya bahan pembicaraan hangat di setiap waktu. Setidaknya, begitulah yang dipikirkannya. Walau pada kenyataan, tidak samua orang mencemooh dirinya. Mereka peduli, sebagai sesama warga di lingkungan pedesaan yang berada jauh dari sudut kota, tenggang rasa menjadi persoalan utama. Permasalahan yang terjadi, baik milik individu sekalipun, akan menjadi persoalan utama milik bersama.

Sebuah Alasan

Kenapa teater? Pertanyaan yang bagus. Teater sendiri berasal dari kata theatron (θέατρον)  dalam bahasa Yunani yang berarti mengarah kepada sebuah gedung pertunjukan atau tempat untuk menonton. Pengertian tersebut kemudian dimaknai menjadi lebih luas, dan digunakan sebagai penyebutan untuk kegiatan para pelaku subyek yang menampilkan rekaman-rekaman gambaran peristiwa secara langsung. Mengapa hal tersebut menjadi begitu menarik? Tak ada alasan khusus. Mengutip salah satu kata mutiara milik seorang penulis dan penyair asal Irlandia, Oscar Wilde, bahwa ‘seseorang tidak sepenuhnya menjadi dirinya ketika ia bicara atas nama dirinya. Berilah ia topeng, maka ia akan mengatakan kebenaran’. Rupanya hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Nyatanya kerap kali kita masih berteater di luar panggung. Di masyarakat misalnya, atau lingkungan yang lebih kecil kepada teman sendiri. Itu merupakan sebuah bentuk apresiasi yang salah.

Populer