Maaf, hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulutku. Aku terlalu denial menganggap bahwa aku sanggup memulai hal baru, menerima aspek lain, melangkah pergi dari apapun yang kutinggalkan di belakang. Namun aku salah, dan malah berdampak begitu besar bagi kehidupan orang lain. Aku belum selesai dengan diriku sendiri. Aku belum mampu memaafkan diriku sendiri. Memulai hal baru denganmu, rupanya bukan keputusan yang tepat. Aku terlalu memaksakan diri hingga membuatmu ikut terluka.
Mungkin ada benarnya, patah hati rupanya memberikan banyak motivasi baru untuk memulai hidup kembali. Patah hati menjadikan kita menjadi pribadi yang baru, dengan memberi pelajaran berharga lainnya yang telah kita lalui. Tak jarang beberapa pujangga, penyair, bahkan penulis lagu terlalu meromantisasi patah hati mereka, karena memang konsep inilah yang paling efektif memberikan banyak inspirasi. Sedetik aku meyakinkan diriku sendiri bahwa 'kau akan tetap baik-baik saja, dunia tidak akan runtuh begitu saja di hadapanmu'. Namun sedetik kemudian aku merasa kosong dan dunia betulan sedang runtuh di hadapanku.
Dengan menenteng perasaanku yang masih berserakan, aku memutuskan untuk melanjutkan hidup seperti biasa. Memasang senyum palsu bak sinar matahari karena hanya hal itu yang dapat mencegahku dari keinginan untuk memaki orang lain yang kujumpai. Sebagai orang dewasa, atau mungkin sebagai pribadi yang mencoba untuk bersikap dewasa, aku tetap menjalankan tanggung jawabku walau dengan setengah hati, dan aku berjanji akan memohon maaf setelahnya kepada semua orang yang ikut terdampak akibatnya. Kesendirian menjadi hal yang paling menakutkan bagiku belakangan ini, hingga aku terus mencari kesibukan, apapun itu, menjelang lelahnya malam. Lalu suatu malam, dalam obrolan panjang yang tiada ujungnya, terpetik pertanyaan dari seseorang,
"Selama ini, setelah kau bekerja, setelah kau mampu mencari penghidupanmu sendiri, hal apa yang paling kau sukai dan dapat membuatmu sangat bahagia?"
Pertanyaan klise rupanya. Klasik. Sangat basic. Namun ternyata cukup untuk membuatku termenung lumayan lama. Jika menilik dari maknanya, secara harfiah bahagia adalah keadaan pikiran atau perasaan kesenangan, ketenteraman hidup secara lahir dan batin yang maknanya adalah untuk meningkatkan visi diri... yang mana hal itu tidak aku temukan, definisi yang mirip seperti penjelasan tersebut pada diriku pribadi. Aku terus berkutat pada memori-memori lama yang tersimpan rapi dalam benakku hingga mencapai satu kesimpulan bahwa kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu. Pada senyum dan tertawamu. Pada bagaimana kau menikmati hidup ini. Aku jatuh cinta padamu dua kali dan aku juga patah hati padamu untuk yang kedua kali.
Pada malam lain, aku bermaksud untuk mengunjungi teman lamaku guna membunuh waktu, dan menanyakan kondisinya saat itu. Dia sesosok wanita yang cukup tegar. Pribadinya sangat keras jika kau tanya padaku. Di sisi lain, dia merupakan sosok dengan pemikiran yang aku kagumi. Saat itu, dia baru saja melahirkan buah hati keduanya. Sosok mungil anak laki-laki dengan tangisannya yang kuat, yang sanggup menantang apapun yang akan menghalangi jalannya. Anak laki-laki yang suatu saat akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas seperti ayah dan ibunya. Sebersit memberiku sebuah renungan bahwa anak laki-laki ini, tidak tahu apa yang akan dihadapinya kelak. Seperti apa dunia akan memperlakukannya. Serta bagaimana dia akan menulis buku kehidupannya, namun dia tetap tertawa ringan tanpa beban. Aku terhenyak begitu lama hingga sebuah suara dari wanita yang sudah sangat kukenal membuyarkan lamunanku,
"Kau masih suka membaca buku?"
"Tentu. Namun sudah tidak seintens dulu."
Setelah mendengar jawabanku dia kemudian memberiku sebuah buku. Buku yang membuatku menaikkan sebelah alis sesaat setelah membaca sampulnya. Aku terbahak dalam hati, menertawakan sindirannya yang membuat hatiku pedih. Dia selalu tahu bagaimana cara menamparku. Di sisi lain aku berterimakasih karena dia cukup paham bagaimana membuatku sadar sebelum melakukan banyak hal bodoh lain yang mulai terencana dalam kepalaku. Aku pamit sembari menenteng buah pikiran lain di samping perasaanku yang masih berserakan. Tidak ingin mengakui bahwa dia selalu bisa membaca kegundahanku sebelum aku menunjukkan kelemahanku. Untuk menutup semua ocehanku, dan menyimpannya kembali dalam salah satu tumpukan usang memoriku, aku akan mengutip beberapa kalimat favoritku dalam buku yang dia berikan, sebagai tanda rasa terimakasihku padanya,
"Akan ada saatnya, dia yang datang, memilih pergi. Bukan karena tak ingin tinggal, melainkan karena memang waktunya bersamamu sudah selesai."
"Bila memang tidak mampu meniadakannya dari ingatanmu, biarkanlah. Mungkin tempat terbaiknya memang di sana."
No comments:
Post a Comment