Perempuan dan Pilihannya

  Manusia pada dasarnya hidup berdampingan bersama dengan pilihan-pilihan mereka. Pilihan-pilihan yang akan, harus, maupun telah mereka ambil. Bahkan keputusan untuk tidak memilih pun, sebenarnya merupakan sebuah pilihan. Sejak awal kita mulai sadar, otak kita mulai dapat menangkap memori, kita sudah dihadapkan oleh berbagai pilihan. Sejak masih dalam didikan orang tua, pilihan-pilihan sederhana mulai muncul di dalam kepala kita. Seperti misalnya, saat orang tua kita tengah menasihati, kita memiliki pilihan untuk mendengarkan nasihat mereka, atau mengabaikannya. Semakin beranjak dewasa, pilihan yang akan kita hadapi juga akan semakin rumit. Semakin beragam, dan semakin susah untuk diambil. Semakin susah karena pilihan manapun yang akan kita ambil nantinya, masing-masing memiliki resiko. Pola pikir kita kemudian akan berkembang dan menyesuaikannya dengan kondisi kita, dengan banyaknya pertimbangan atas konsekuensi yang akan kita peroleh dari pilihan yang diambil. 

Bagi beberapa orang, menjadi seorang perempuan bukanlah hal yang mudah. Karena pilihan yang mereka miliki, cukup terbatas, dan cukup berbeda dengan peluang laki-laki dalam menentukan pilihannya. Berbicara soal kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, tentu tidak lepas dari pembahasan mengenai budaya patriarki. Sebelum memulai lebih jauh mengenai pembahasan sensitif ini, sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa apa yang akan aku sampaikan murni hanya dari pemahamanku saja, dan aku tidak akan membahas lebih mendalam apa yang belum aku pahami. Kita tentu akan sepakat bahwa di beberapa keluarga, di beberapa lokasi, kepercayaan, suku, peradaban, budaya patriarki masih menjadi salah satu yang utama, dan dipercaya bahwa memang seperti itulah kodrat dari kehidupan yang sebenarnya antara laki-laki maupun perempuan. Hal itu hadir, dan melekat begitu erat karena sudah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan hanya sedikit generasi yang mencoba memutus mata rantai tersebut.

Sebagai contoh sederhana, dalam kehidupan sehari-hari sebuah keluarga. Anak laki-laki yang memilih untuk tidak mau terlibat dalam urusan domestik rumah tangga akan dianggap sangat wajar oleh sebagian besar golongan, karena dia anak laki-laki, dan akan dianggap sangat keren apabila anak laki-laki tersebut justru memilih sebaliknya. Sedangkan anak perempuan yang dihadapkan dan memilih pilihan yang sama, akan dipandang sebagai pemalas oleh sebagian besar golongan, dan akan dianggap wajar apabila mau mengerjakan urusan domestik tersebut. Laki-laki menempuh pendidikan tinggi akan dipuja-puja, sedangkan perempuan menempuh pendidikan tinggi akan dicela. Laki-laki sukses dan kaya-raya akan dianggap sebuah prestasi, sedangkan perempuan sukses dan kaya-raya akan disangka hasil dari menjual diri. Laki-laki yang bisa bekerja dan mengerjakan urusan domestik akan disanjung hebat, sedangkan perempuan yang dapat melakukan hal yang sama dianggap memang sudah kodrat

   Seorang laki-laki lajang yang berusia di atas 30 tahun akan menjadi dambaan karena 'kematangannya', sedangkan seorang perempuan lajang berusia di atas 30 tahun akan mendapat banyak cibiran. Semua hal akan dianggap biasa apabila sosok laki-laki sebagai pelakunya, dan akan dianggap 'luar biasa' bila pelakunya sosok perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dan dapat kita jumpai langsung di beberapa golongan masyarakat. Perdebatan antara kodrat sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak akan ada habisnya. Tidak akan ada ujungnya. Apalagi bila hal tersebut dikaitkan dengan suatu pemahaman seperti kepercayaan, adat, maupun norma tertentu.

        Menanggapi isu-isu tersebut, tentu sudah banyak gerakan yang dilakukan guna merepresentasikan perjuangan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan haknya, yang selanjutnya akan kita sebut sebagai kesetaraan gender. Namun, tidak bisa dipungkiri, dominasi budaya maskulin di beberapa daerah khususnya di Indonesia masih sangat kental dan menjadikan kesetaraan gender masih sangat utopis. Sehingga apabila gerakan-gerakan tersebut tidak didukung oleh berbagai pihak, pada akhirnya hanya akan menjadi bunga tidur, utamanya di daerah-daerah tertentu. Kita bisa ambil contoh salah satunya yaitu daerah yang masih dibelenggu dengan kuat oleh hukum adat dan tafsir agama, Aceh. Perempuan-perempuan Aceh sayangnya sampai saat ini masih belum bisa menjadi 'empu' bagi dirinya sendiri.

     Sebagai seorang perempuan yang tumbuh besar di daerah terpencil, walaupun daerahku bukan dengan belenggu yang seketat di Aceh, aku masih sangat memahami bagaimana tidak adilnya budaya patriarki. Bagaimana sulitnya untuk memberontak dan keluar dari lingkup tersebut, karena keluarga masih menganut paham 'apapun yang diucapkan oleh orang tua adalah mutlak'. Bagaimana struggle yang dihadapi saat dihadapkan pada pilihan antara hidupku sendiri atau kemauan orang tua atas kodrat anak perempuannya. Serta bagaimana aku masih belum bisa seratus persen menjadi 'empu' dari diriku sendiri. Sungguh semua itu akan terjawab lebih mudah apabila aku terlahir sebagai seorang laki-laki. Namun, kembali pada pokok pembahasan utama mengenai pilihan, setidaknya aku masih memiliki pilihan, dan dengan pilihanku yang amat terbatas ini, aku akan memilih untuk terus berjuang di atas kakiku sendiri. Aku memilih, untuk lepas dari mata rantai tersebut.

No comments:

Post a Comment

Populer